Pages

Wednesday, December 28, 2016

Rumah Sejuta Kenangan

Sebuah rumah yang menjadi saksi perjalanan hidup, lima generasi keluarga besar kami pernah ada di rumah ini...



Bulaksumur adalah salah satu kompleks perumahan untuk dosen UGM. Eyang kakungku, dulu, adalah guru besar Fakultas Kedokteran UGM. Sekitar tahun 50-an Eyangku mulai menempati rumah ini sebagai rumah dinas. Rumah yang cukup besar, dengan kusen jati dan dinding yang kokoh. Kamar paling depan dulu digunakan untuk ruang praktek Eyangku sebagai dokter spesialis kulit dan kelamin, sampai Eyangku wafat tahun 1974.



Setelah Eyang Kakungku wafat, rumah ini masih ditempati Eyang Putriku, bersama dengan putra putrinya yang bergantian tinggal di rumah itu sambil menyelesaikan pendidikan dokter spesialis, termasuk Papaku. Supaya suasana rumah tetap ramai, Eyangku menyewakan kamar-kamar di paviliun belakang untuk indekost mahasiswa. Masa balita sampai kelas 1 SD aku lewatkan di rumah ini. Pertengahan tahun 1988, aku dan orang tuaku hijrah ke Bali. Masih jelas dalam ingatanku, Eyang Putri melepas kami pergi dengan deraian air mata di garasi rumah, saat mobil kami sudah siap berangkat.

Kembali dari perantauan empat tahun kemudian, Eyang masih tinggal di rumah ini bersama tanteku sekeluarga. Tiap hari Minggu kami sowan. Suasana bertambah ramai saat liburan tiba. Kami semua berkumpul, bercanda bersuka ria. Zaman dulu belum ada gadget, jadi aku dan sepupu-sepupuku punya permainan yang jadi favorit kami tiap berkumpul, mulai dari main kartu (41, Tepuk Nyamuk, Minuman), dan juga basabas.

Waktu berjalan, cucu-cucu Eyang mulai kuliah dan beberapa dari kami tinggal di rumah itu sebagai "anak kost". Aku sendiri masuk ke rumah itu lagi mulai tahun 1999, dan masih ada adik sepupuku yang menyusul. Suasana rumah waktu itu begitu 'hidup' dengan aura semangat dan kegiatan kami sehari-hari. Eyang juga masih sehat dan kuat beraktifitas, mulai dari memasak hingga pengajian dan arisan.

Baca juga : My Grandma, The Great Woman

Lulus kuliah tahun 2004, aku mulai meninggalkan rumah itu walaupun belum sepenuhnya, karena aku masih punya kamar beserta barang-barang yang masih kutinggal. Sowan Eyang tiap hari Minggu masih menjadi rutinitas kami. Di kurun waktu itu juga, Eyangku berhenti menerima mahasiswa untuk indekost.

Setelah sepupuku lulus kuliah dan kembali ke rumah orangtuanya, otomatis rumah Eyang jadi sepi. Kami sebenarnya membujuk Eyang untuk menerima indekost lagi, tapi sepertinya Eyang merasa tidak sanggup lagi mengelola.
Waktu berjalan, rumah itu aku rasakan semakin redup auranya sejak tidak ada lagi cucu-cucu yang tinggal menemani Eyang. Eyang tinggal bersama pramurukti dan asisten rumah tangga.

Tahun demi tahun, kesehatan Eyang juga semakin menurun. Beberapa kali Eyang harus dirawat di rumah sakit, sampai akhirnya Eyang lebih banyak berbaring di tempat tidur. Hari Minggu adalah hari yang selalu dinantikan karena kami yang tinggal dekat dengan Eyang akan datang berkunjung dan kadang saudara-saudaraku dari luar kota juga datang. Tiap Lebaran rumah itu masih tetap jadi tempat berkumpul keluarga besar kami.



Memasuki bulan Juli 2016, kesehatan Eyang semakin menurun. Tanggal 20 Juli 2016 diputuskan Eyang harus masuk rumah sakit. Kami sekeluarga besar sudah berkumpul untuk berdoa dan berikhtiar yang terbaik untuk Eyang. Hingga akhirnya tanggal 27 Juli 2016, tepat di hari ulang tahun pernikahannya, Eyang meninggalkan kami semua dalam usia 94 tahun.

Karena Eyang Putri sudah meninggal, maka rumah yang selama ini ditempati harus dikembalikan ke UGM. Kami membutuhkan waktu sekitar 5 bulan untuk proses pengosongan rumah itu. Sedih rasanya... Karena begitu banyak kenangan keluarga besar kami selama lebih kurang 60 tahun menempati rumah itu. Tiga generasi mulai dari masa kecil hingga menjadi sarjana dan menikah. Tempat berkumpul bersama saat Lebaran dan liburan. Rumah yang selalu ramai oleh gelak tawa kami.

Rumah telah benar-benar kosong, dan akhirnya hari Selasa tanggal 27 Desember 2016, rumah ini resmi kami kembalikan ke pihak UGM. Terima kasih kepada UGM yang telah memberi fasilitas kepada Eyang hingga tutup usia. Kunci rumah sudah berpindah tangan. Selamat tinggal rumah sejuta kenangan... Kami semua pernah mengukir kisah indah dan suka duka di rumah itu....

DISERAHKAN 27 DES 2016


GOOD TIMES COME AND GO...
BUT THE MEMORIES WILL LAST FOREVER ❤
 

Saturday, December 24, 2016

Catatan Kecil Tentang Keyakinan dan Toleransi

Kalo buka socmed dan baca artikel online akhir-akhir ini, mayoritas berita diisi dengan masalah SARA, intoleransi, dan ribut-ribut antar pemeluk agama. Jujur saya sedih, karena Indonesia yang dikenal orang luar adalah negara dengan ratusan suku, bahasa, dan adat yang berbeda tetapi bisa rukun dan selaras.

Saya adalah seorang muslim dari lahir. Keluarga besar saya semuanya beragama Islam. Tapi sejak kecil saya sudah diperkenalkan dengan keberagaman. Teman akrab masa kecil saya waktu TK, adalah seorang pemeluk Katolik. Kami bermain bersama tanpa ada sekat pemisah bernama agama. Menjelang Natal, saya main ke rumahnya dan selalu senang melihat kerlap kerlip lampu hiasan pohon Natal. Kami akhirnya berpisah ketika saya melanjutkan sekolah ke SD, sementara dia masih meneruskan TK.

Naik kelas 2 SD, keluarga saya hijrah ke Pulau Bali. Di sana rata-rata penduduknya beragama Hindu. Teman-teman baru saya pun kebanyakan beragama Hindu, ada beberapa yang muslim dan nasrani. Kala pelajaran agama, kami yang muslim dan nasrani keluar kelas dan belajar agama di ruang lain. Saat ada perayaan agama Hindu atau ada upacara Ngaben, kami melihat dari rumah, kadang ikut berjajar di pinggir jalan untuk melihat arak-arakan.

Tiap pagi sebelum masuk kelas, semua murid beragama Hindu berbaris di lapangan untuk sembahyang, termasuk kami murid non Hindu. Kami juga berdoa dengan cara dan keyakinan masing-masing. Kalau kami yang non Hindu sudah selesai berdoa, kami tetap berbaris, atau kami duduk tapi tetap menjaga ketenangan sampai teman-teman Hindu selesai sembahyang. Waktu itu saya sampai hafal isi doa sembahyangnya (Tri Sandhya), karena setiap pagi selama empat tahun saya tinggal di Bali, saya mendengarkan dan mengikuti teman-teman Hindu sembahyang. Setelah selesai, baru kami bersama-sama masuk kelas untuk mengikuti pelajaran.

Waktu Idul Fitri dan Idul Adha, kami penduduk muslim sholat di lapangan. Tidak ada hambatan atau larangan apapun, semua berjalan lancar. Di Bali bahkan ada 5 tempat ibadah di satu lokasi, bukti kerukunan dan toleransi antar umat beragama di sana.

Saat hari raya Nyepi, listrik seluruh daerah dipadamkan. Tidak boleh ada seorang pun yang keluar rumah kecuali dalam keadaan darurat (sakit parah dan harus ke RS). Kami yang muslim juga ikut menyepi dengan berdiam di rumah, tidak pergi ke mana-mana. Ada sedikit cerita tentang Nyepi ini. Waktu itu, saat hari sudah gelap dan kami harus sholat, kami menyalakan lilin. Rupanya cahaya lilin itu terlihat sampai ke luar rumah. Pecalang yang lewat memperingatkan kami untuk mematikan lilin. Tapi kami menyampaikan bahwa kami umat muslim dan kami tidak bisa sholat dalam keadaan gelap gulita. Akhirnya diambil win win solution, kami boleh menyalakan lilin, tapi cahayanya jangan sampai terlihat dari luar rumah. Alhamdulillah... semua orang bisa beribadah dengan tenang 😊

Saya lahir dan melahirkan anak-anak saya di sebuah rumah sakit Katolik di Yogyakarta. Semua perawat memperlakukan pasien dengan baik tanpa memandang agamanya. Saat hamil anak kedua, saya sakit dan dirawat di rumah sakit itu juga. Di setiap kamar ada kayu salib yang digantung di dinding. Waktu itu saya melaksanakan sholat sambil berbaring. Tidak masalah di hadapan saya ada salib. Kami masing-masing punya cara untuk menyembah Sang Khalik.
Setiap sore menjelang petang, saya mendengar ada suara lonceng dari luar kamar. Ternyata itu adalah panggilan ibadah untuk umat Katolik, sama seperti muslim ada adzan.

Saya sangat ingat adegan di film Rudy Habibie, saat Pak Habibie di Jerman dan melaksanakan sholat di gereja karena tidak ada masjid di sana. Beliau mengambil tempat di belakang karena takut mengganggu umat lain. Kata-katanya kurang lebih : rumah ini adalah rumah untuk menyembah Tuhan. Izinkan saya menyembahMu di sini...
Saya menangis saat adegan itu, betapa perjuangan seorang muslim menegakkan sholat di manapun berada, bahkan sampai 'menumpang' di rumah ibadah umat lain. Dikisahkan di film itu juga tidak ada orang yang mengganggu atau mengusir Pak Habibie.

Suami saya pernah bercerita, saat dia bekerja di Amerika dulu, orang-orang di sana mempekerjakan orang dari kalangan/agama apapun. Termasuk suami saya yang muslim. Mereka juga tidak melarang pegawainya mengerjakan sholat. Tetapi, izin sekian menit untuk sholat selama jam kerja itu harus masuk dalam kontrak kerja. Mereka tau muslim harus sholat di waktu-waktu tertentu, tapi mereka juga menuntut pegawainya tetap profesional.

Baca juga : Catatan Perjalanan

Anak-anak saya bersekolah di sekolah umum (bukan berbasis agama). Salah satu alasan kami sebagai orang tua memutuskan untuk menyekolahkan di sana adalah supaya mereka juga belajar keberagaman. Supaya mereka juga bertemu dan bergaul dengan anak yang berbeda agama dan berbeda suku, dengan begitu harapan kami mereka juga bisa belajar menerima perbedaan.

Yang ingin saya tanamkan untuk anak-anak saya adalah...
Pegang kuat iman dan Islam-mu di manapun kalian berada
Jadikan Quran dan Hadits pedoman hidup sampai akhir hayat
Tapi tetap hormati dan hargai yang berbeda dengan kalian
Kita tidak pernah tau lewat perantara siapa doa dan bantuan dikabulkan


Untuk kalian yang mayoritas tapi masih merasa insecure...
Pergilah, merantaulah ke tempat di mana kalian jadi minoritas
Ke tempat di mana kalian tidak bisa beribadah sebebas di negeri sendiri
Mungkin di sana kalian bisa belajar untuk tidak arogan
Belajar menghormati dan menghargai yang berbeda dengan kalian
Belajar tidak memaksakan kehendak dan merasa diri berhak mengatur dan membatasi keyakinan orang lain
Lihatlah lebih luas....
Sehingga tidak perlu merasa bahwa yang berbeda itu adalah ancaman
Kalau yang berbeda itu bisa menjaga hubungan horisontal dengan baik, apa yang perlu dikhawatirkan ?